Pestisida
dan Ancamannya Bagi Kesehatan
Kita adalah representasi dari apa yang kita
makan. Semua bahan yang dikonsumsi akan membentuk sel-sel tubuh kita. Jadi,
sehat tidaknya tubuh sangat ditentukan kualitas makanan yang masuk. Lantas
bagaimana jika makanan yang masuk mengandung residu pestisida? Ya, otomatis
residu pestisida itu akan tersimpan dalam jaringan tubuh kita.
Pernahkah terpikir,
bayam hijau segar atau tomat merah ranum yang Anda konsumsi sebenarnya
mengandung residu pestisida? Studi Pesticide Action Network Inggris di sejumlah
negara maju di Eropa tahun 2006 (Your Daily Poison: The Second UK Pesticide
Exposure Report) menunjukkan, produk-produk pertanian yang dijual di pasar
negara-negara tersebut mengandung residu pestisida dalam jumlah yang
signifikan. Ini terjadi di negara maju yang standar pengawasan keselamatan
konsumennya cukup ketat. Bagaimana dengan kita di Indonesia yang bisa dibilang tidak
memiliki standar pengawasan keselamatan konsumen yang jelas? Rasanya hidup
bebas tanpa pestisida bagi kebanyakan masyarakat cukup sulit, bila tak mau
dibilang mustahil.
Petani biasa menyemprotkan pestisida saat
budi daya dan sekali lagi menjelang panen agar tanaman sayur dan buah tetap
berkualitas baik sampai di pasar. Bila intensitas penyemprotan tinggi,
pestisida yang melekat pada tanaman biasanya meninggalkan residu cukup besar.
Berdasarkan racunnya, pestisida dibagi dua, yaitu sistemik (contohnya Dimicron
dan Tamaron) dan nonsistemik (contohnya Dithane). Pada jenis sistemik,
pestisida yang disemprotkan meresap ke seluruh bagian tanaman, termasuk
daun, akar, dan buah. Sedangkan pada nonsistemik, racun hanya ada di permukaan,
tidak terserap. Menghilangkan residu pestisida nonsistemik bisa dengan
mencucinya di air mengalir, walau tidak dijamin hilang 100 persen. Sementara
residu pestisida sistemik, sulit dihilangkan dan akan tertimbun dalam tubuh
konsumen. Ini semua terjadi karena residu pestisida bisa dipindahkan dari satu
makhluk hidup ke makhluk hidup lain. Residu pestisida di dalam tanaman akan
berpindah ke dalam jaringan daging hewan yang memakannya. Jika hewan ini
dikonsumsi manusia, residu pestisida tadi akan masuk ke dalam tubuh manusia.
Celakanya lagi, residu pestisida, tidak mudah terurai dan dikeluarkan dari
tubuh. Bahkan menurut PAN UK dalam bukletnya Pesticide on A Plate (2007), dalam
tubuh tiap orang di dunia saat ini bisa ditemukan jejak-jejak DDT!
Jaringan tubuh yang tercemar residu pestisida akan terganggu
kesehatannya karena bahan kimia penyusun pestisida adalah racun yang keras.
Memang secara umum, efeknya tak terlihat seketika, melainkan butuh waktu lama,
bahkan bisa bertahun-tahun. Dalam jangka panjang, ketika sudah mencapai ambang
batas tertentu, akumulasi racun ini bisa membuat sel tubuh melemah, mudah
rusak, bahkan mengalami mutasi. Timbullah gangguan otak, tumor, kanker, bahkan
pada ibu hamil bisa mengakibatkan bayi lahir cacat. Bila pestisida yang
tertimbun dalam tubuh berbahan dasar logam berat, bisa mengganggu sistem saraf.
Banyaknya bayi lahir dengan berbagai kelainan, seperti autis dan kembar siam,
disinyalir juga disebabkan timbunan residu pestisida di dalam tubuh ibunya
semasa hamil (www.panna.org/resource/autism and pesticide, 2007), yang
berpindah ke janin melalui plasenta. Inilah mengapa, pendekatan PHT adalah metode
pengendalian hama-penyakit yang jauh lebih baik dari penggunaan pestisida.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar